Sebelum pemerintahan Tumanurunga, Kerajaan Gowa purba hanya empat
orang raja berturut-turut memerintah yang diketahui, yaitu:
1. Batara Gowa
2. Yang dibunuh di Tala ( nama aslinya tidak diketahui )
3. Manrancai
4. Karaeng Katangka.
Mungkin raja yang pernah memerintah lebih dari yang tersebut di
atas. Penyebab keruntuhan Kerajaan Gowa demikian pula kepunahan raja-rajanya
tidak diketahui ( tidak ada yang menceritakan )
Setelah berakhirnya pemerintahan Raja Gowa Karaeng Katangka (pusat
kerajaan kami perkirakan di Katangka), maka tak ada lagi Raja di Gowa.
Timbullah kerusuhan-kerusuhan, perang saudara dan diperangi pula musuh-musuh
dari luar Gowa. Akhirnya Kasuwiang Salapang bersatu dan membentuk suatu
pemerintahan gabungan (federasi) yang diketuai seorang tokoh yang sangat
disegani dan berwibawa dengan gelar Paccallaya.
Konon Paccallaya adalah kakak dari Gallarang Tombolo. Paccallaya
bertugas sebagai ketua dewan federasi Kasuwiang Salapang dan bertindak sebagai hakim
tertinggi untuk mengatasi segala sengketa yang akan terjadi. Paccallaya tidak
berkeinginan menjadi Raja Gowa karena menganggap dirinya sama derajatnya dengan
sembilan orang kepala pemerintah (Kasuwiang) yang dipimpinnya karena dia
berasal dari anak Kasuwiang di Tombolo dan yang bisa diangkat menjadi raja
ialah orang yang lebih tinggi derajatnya dari mereka, atau seseorang yang asing
bagi mereka agar bisa berwibawa dan dipatuhi.
Setelah itu Paccallaya serta Gallarang Tombolo (Kasuwiang di
Tombolo), Kasuwiang di Lakiyung dan Samata yang tiga kasuwiang ini merupakan Otere tallua (tri tunggal) mewakili
kesembilan kasuwiang berupaya keras untuk mengangkat raja sebagai pelanjut dari
Paccallaya supaya Kerajaan Gowa muncul kembali seperti pada waktu pemerintahan
Raja Gowa Karaeng Katangka.
Setelah gabungan/federasi pimpinan Paccallaya berjalan beberapa
lama (mungkin makan waktu belasan tahun), maka tiba-tiba muncullah seorang
putri lengkap dengan pakaian kebesaran disebuah tempat bernama Taka’ Bassia di bukit Kalegoa (± 500
meter sebelah selatan makam Sultan Hasanuddin sekarang). Setelah diketemukan, putri
itu duduk di bawah pohon mangga jombe-jombea dipagi-pagi buta oleh orang-orang
yang akan mengambil air di sumur yang bernama Bungung Bissua. Gemparlah
masyarakat setempat dan segera dilaporkan kepada Paccallaya bahwa ada seorang putri
cantik lengkap dengan pakaian kebesarannya. Orang-orang yang datang melihatnya
menamainya Tumanurung (Raja/Ratu Kerajaan Gowa I). Dikatakan Tumanurung, karena
tidak diketahui asal usul kedatangannya, tiba-tiba berada ditempat tersebut.
Paccallaya bersama Kasuwiang Salapang bermufakat mengangkat
Tumanurunga menjadi Raja Gowa dengan membuat/mengucapkan ikrar (perjanjian)
antara Kasuwiang Salapang bersama Paccallaya disatu pihak dan Tumanurunga
dilain pihak dan berakhirlah pemerintahan gabungan dibawah pimpinan Paccallaya.
Mulailah pemerintahan Kerajaan Gowa dibawah pimpinan Tumanuruga sebagai Raja
Gowa pertama (± 1300 M), memerintah Sembilan daerah Kasuwiang dan daerah-daerah
diluar wilayah Kasuwiang.
Tumanurunga dibuatkan sebuah istana di atas bukit Kalegowa ± 500
meter sebelah utara Taka’ Bassia (tempat
diketemukannya Tumanurunga). Istana itu kemudian diberi nama Tamalate yang
berarti tidak layu karena istana itu selesai sebelum daun-daun kayu bahan yang
dibuat rumah tersebut layu. Konon Istana Tamalate itu selesai dalam waktu
sehari semalam saja.
Tumanurunga diperistrikan oleh Karaeng Bayo yang konon kabarnya
diketemukan di Tassilli-Paccellekang dengan pakaian kebesarannya bersama seorang
temannya bernama Lakipadada. Masing-masing membawa kalewang yaitu :
1. Sonri yang bernama Tanru’ Ballanga kepunyaan Karaeng Bayo
2. Sudanga kepunyaan Lakipadada
Beserta sebuah perhiasan emas yaitu Tokeng (kalung) bernama I Tanisamanga kepunyaan Tumanurunga. Ketiga
benda pusaka tersebut (sudanga, tanru’ballang, dan tanisamanga) menjadi
benda/alat kebesaran Kerajaan Gowa turun temurun dan disimpan di Balla Lompoa
ri Gowa sampai sekarang. Konon kabarnya Lakipadada meninggalkan Gowa dan
berangkat menuju ke arah utara.
Diriwayatkan oleh H. Abd. Hakim Daeng Mangung (kakek penulis)